Home » » Senandung Rindu Bintang Kecilku

Senandung Rindu Bintang Kecilku

Written By MAN 1 PRAYA on Kamis, 26 Juli 2012 | 00.15

Istin Nana Robi'ah XII IPA
“Dik…. Ayo bangun kita sholat! Bangun! Bangun!”
“Ya kak!”
Kuhela nafas panjang, nampaknya adikku sedikit aneh hari ini, mengapa sampai jam segini ia belum bangun sholat subuh. Apa ia sakit? Kukira tidak! Ia baik-baik saja.
“Kak….”
“Ada apa? Sudah sholat?”
“Aku… Aku…”
“Adik kenapa? Kenapa adik menjawab dengan terbata-bata? Adik sakit?”
“Tidak kak, tidak! Aku tidak sakit. Maafkan aku! Aku… Aku... Aku sedang berhalangan….”
Ia terlihat begitu takut. Wajah lugu dan polosnya kian menghampiri kepedulianku. Ketakutan itu membuatnya tak mampu membendung tetes bulir bening yang membasahi pipi manisnya. Keluarkanlah semua isakmu! Aku tak akan melarang karena itu yang membuatmu lega. Kau tak mengapa. Kini kau bukan anak kecil lagi. Ini bencana bagiku! Mengapa aku katakan bencana? Aku seharusnya bersyukur!
Batinku terisak haru memikirkan semua. Aku rindu sosok ibu. Sosok wanita yang begitu tegar sebagai istri ayahku dan sebagai ibu untukku dan adikku. Mengapa? Mengapa Tuhan mengambilnya begitu cepat? Aku harus mampu menggantikan posisinya di rumah. Menyiapkan makanan tiap hari, membersihkan rumah dan semua pekerjaan yang biasa dilakukan ibu ketika masih bernafas di dunia ini. Bukan ini yang kukhawatirkan! Bukan!
Seribu persoalan bertandang di benak pikiran. Amanah Allah dan almarhum ibuku untuk menjadi kakak yang baik  bagi adikku. Begitupula ayah menaruh sebongkah harapan besar padaku untuk menjaganya. Sebagai kakak untuk adikku satu-satunya memang kurasa berat. Begitu berat. Aku harus mampu menjadi teladan yang baik baginya. Aku harus mampu menjaganya. Tapi kekhawatiran melandaku, kemampuanku tak seberapa. Bergelayut pesimis menembus jiwaku tak mampu kutepis, memikul tanggungjawab ini. Nikmat-Mu tak terhitung! Kuyakini!
Senja tak pernah ragu pada malam. Malam yang lembut datang perlahan, menyelimuti senja dengan bintang-bintang. Kubentangkan sajadah di atas tikar musholla, sambil menunggu ayah datang sebagai imam, kulantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Tak kusadari, aku hanyut dibawanya. Kurasakan kedamaian ketika paham maknanya. Kedamaian yang berbeda. Aku tertumpu pada salah satu ayat yang disebutkan 31 kali dalam surat Ar-rahman “Fabiayyi aalaairobbikuma tukadzibaan”. “Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” Isakku kian menjadi. Kini kumengerti tak boleh melantarkan amanah itu.
“Assalamu’alaikum…”
Adikku menghampiri dengan salam indah disertai senyum manisnya. Kelembutan salam darinya kujawab dengan serupa. Alangkah bahagia aku didekatnya. Di sejuk salam itu aku tatap wajahnya. Aku ingin melukis puisi. Sebab ada warna fitrah cinta di kelopak matanya. Membuat rindu seteduh biru lautan yang tak henti menyusun gemuruh dan langit malam menunggu bintang-bintang berlabuh.
Malam kurasa sedemikian syahdu. Sujud dalam setiap rakaat sholat membuat alam ikut bertasbih. Bintang dengan kerlap-kerlip di langit yang hitam. Angin yang berhembus halus. Kidung doa dari ayah sehabis sholat sering tak kupahami maknanya. Tapi aku aamiinkan. Itu doa. Pasti toyyib!
Menjadi siswa Madrasah Tsanawiyah kelas VII adikku merasakan peralihan masa kanak-kanaknya kian berkurang. Ia rajin mengaji tanpa disuruh. Belajarpun demikian. Berpakaian rapi. Pakaiannya selalu disetrika dan ia tak lagi menggunakan pakaian pendek. Kini ia mulai mengenakan jilbab. Jarang bermain yang terlalu berlebihan dengan teman sebaya anak-anak tetangga. Ia mulai hati-hati dalam berkata. Tidak ceplas-ceplos seperti waktu ia masih di Sekolah Dasar. Mandi 2 kali sehari tak pernah ia alpa. Berbeda ketika ia masih kanak-kanak mandipun harus disuruh terlebih dahulu. Sarapan tanpa disuruh. Banyak perubahan yang terjadi yang kulihat dari diri mungilnya.
Semua itu bertumpu pada satu muara, ia mulai merasakan keterlibatan rasa kebatinan terhadap lawan jenisnya. Aku paham meski tak begitu pengalaman, tapi setidaknya akupun pernah merasakan hinga saat ini. Memendam rasa pada ikhwan yang kukenal indah dalam seraut hidupku. Ia menjadi salah satu bongkahan motivasi yang masuk dalam garis takdirku.
Pertanyaan-pertanyaan konyol dari adikku tentang seorang laki-laki namun membuat hati terasa terisi bagi batin seorang perempuan menghampiriku. Aku kadang bingung menjawab dengan kata apa. Kutengadahkan ke langit hitam pekat berharap ada tanda. Agar kata dapat terucap dan bukan suatu rekayasa.
Ia percaya dengan semua kataku. Kukata bahwa cinta itu fitrah dan anugerah Tuhan. Tak boleh mengingkari semua. Tak boleh menodai cinta. Karena ia suci dari Ilahi Robbi sang pemilik hati semua insan. Ketika cinta menghampiri, malu menjadi kata pertama dalam diri. Ia malu untuk berkata. Ia malu untuk bertanya. Ia malu untuk menyatakan pada diri sendiri bahwa ia menaruh rasa pada lawan jenisnya. Ia malu untuk mengakui sementara pena ingin begitu tergesa-gesa menuliskan cerita tentangnya.
Saat berucap bibir membisik ingin membicarakannya. Saat mata memandang ingin ia terselip di alunan angin yang berhembus. Saat  itu akal terbaring tak berdaya. Melemahkan kekuatan yang ada. Bara rindu dan kasih tertanam dalam batinnya. Bergemuruh mengaduk rasa. Ingin menorehkan warna selembut tatapannya.
Lembut bulir-bulir kasih sayang yang ingin dituangkan dalam puisi jiwa. Jiwa begitu bergelora. Sebekal cahaya yang terketuk. Angin berhembus ciptakan kedamaian ingin sampaikan salam untuk hatinya. Bintang-bintang berkerlip mengintip dikejauhan sana ikut menyapa. Kelopak matanya berkedip, ombak di matanya, tatap mata tersedot hanyut tak mampu melepaskan diri. Berderai indah. Panorama yang menggelayuti rasa. Berteduh dalam senyum manisnya.
Rasa bahagia tinggal di hati. Mengukir ceritanya selalu diterangi cahaya. Jantung berdebar. Dawaipun ikut berirama melantunkan rindu. Menggema nada-nada cinta merangkai kisah hati. Kicauan burung-burung dan rumpun bambu yang bersenandung. Cinta dapat mengubah segala. Mengubah marah jadi ramah, mengubah kesal jadi senang, mengubah iri jadi simpati.
Terhanyut! Terhanyut bila tak sadarkan diri! Bila tak dibentengi iman dalam diri. Bahasa hatinya tak mampu terukir dalam kata-kata. Karena kata hanya mampu sempurna ditafsirkan oleh diri pribadi. Ketika ingin menafsirkan maka masuklah ke dalamnya.
Sementara aku dahulu hanya biarkan rasa itu hanyut bak air mengalir. Aku belajar pahami seorang diri. Aku tak tahu siapa tempatku harus berlabuh melainkan hanya Sang Maha Kuasa Pemilik Jiwa. Karena aku tak terlalu mengandalkan ayah karena ia telah renta. Tubuhnya yang dulu kekar kini kian membungkuk. Wajahnya yang dulu mulus kini mengeriput. Matanya yang indah bersinar kini melemah pandang. Aku juga sadar ia jangan banyak pikiran karena hiasan masalah dalam dekapan hidup ini. Cukup ia berada didekatku. Senyum harus tetap tersungging di bibirnya. Dekapan dalam kehangatan memberi pancaran motivasi untukku dan adikku.
Sang surya mulai menampakkan sinar indahnya. Menebar indah merekah. Tetes-tetes embun tanaman mulai mengering. Kicauan burung mulai terdengar ribut. Angin berhembus halus menerpa pepohonan. Dingin sekali. Kulangkahkan kakiku menuju kamar setelah menyapu halaman depan. Nampaknya hari minggu ini begitu sepi tak ada adikku. Pagi-pagi sekali ia  mengayunkan sepedanya ke sekolah untuk bimbel olimpiade fisika. Doaku selalu mengirimu dik!
Keceriaan selalu terpancar dari wajahnya. Cerita-cerita unik kerap kali kudengar dari mulutnya yang mungil itu. Kusunggingkan senyum saat menyiapkan sarapan untuk ayah, teringat cerita adikku. Cerita sepele menjadi hal yang unik jika ia yang cerita padaku. Entahlah. Kulangkahkan kaki menuju kamar. Sambil merapikan buku di meja belajarku yang berantakan, aku diam sejenak menerawang ke langit-langit kamarku. Yang kutakutkan hanya satu. Aku takut ia rapuh dengan gelombang rasa yang bergejolak dibatinnya itu. semoga tidak!
“Sarapan sudah siap anakku?,” tanya ayah dengan nada rendah. Ia sudah menunggu sekitar setengah jam yang lalu. Maafkan aku ayah! Dengan cepat aku menuju ruang depan. Kulihat ayah dengan sabar menungguku. “Maaf ayah aku terlambat,” bisikku dalam hati sambil menaruhkan makanan di atas meja. Kulihat seulas senyum dari wajahnya.
Aku kembali ke kamar dengan perasaan tak begitu lega karena aku tak bisa menemani ayah sarapan. Aku harus menyelesaikan tugas sekolah yang sudah tertumpuk di mejaku. Satu persatu tugas kubuka tapi kudahulukan tugas naskah drama karena harus kukumpulkan besok senin. Kulanjutkan empat halaman yang masih berantakan. Kata demi kata kurangkai. Sehabis itu kukerjakan tugas yang akan dikumpulkan dalam waktu dekat ini.
Memori otakku dipenuhi logika-logika yang merangsang konsentrasiku. Permasalahan dalam hidup harus mampu kuhadapi dengan indah. Indah pada awal dan pada akhirnya. Begitu niatku. Aku tak ingin orang di sekitarku ikut terbebani apalagi adikku. Ia sangat peka jika aku mengalami masalah yang cukup serius. Aliran darahku terasa mengalir deras. Jantungku berdetak kencang saat memikirkan masalah pahit yang hampir menelanku. Aku terbius di dalamnya.
“Assalamu’alaikum, aku pulang...,” ucap salam dari adik manisku.
“Wa’alaikumussalam bagaimana hari ini? Bagaimana bimbelnya dik?,” tanyaku penasaran.
“Alhamdulillah berjalan lancar kak, aku ke dapur dulu ya, aku lapar nih…,” cetus adikku dengan raut wajah lelah sambil menaruh sepeda biru langitnya di luar dekat dapur.
Akhir-akhir ini ada yang berbeda dari adikku. Ia jarang cerita tak seperti dulu. Aku merasakan itu semua. Tingkah lakunya yang semakin pendiam membuatku bertanya dalam hati. Ia jarang ke kamarku. Ada apa dengan dirinya? Masalah apa yang mengganggu benaknya? Aku maklumi jika itu yang dapat melegakan perasaannya. Agar aku tak menjadi beban pikirannya. Aku biarkan!
Aku seperti tak mengenalnya lagi. Membiarkannya seperti itu menyiksa batinku. Aku ingin adikku yang dulu. Setiap malam selalu ada cerita baru darinya. Cerita yang kadang membuatku introspeksi diri. Aku belajar banyak darinya.
Adzan subuh terdengar syahdu menggema. Bersahutan satu sama lain. Menggetarkan langit bumi. Subuh telah usai namun aku masih terjepit di sela-sela perubahan adikku. Pikiranku melayang menghiasi udara yang berhembus.
“Adik kenapa?”
“Tidak ada apa-apa kak, aku hanya ingin sendiri saja”
“Ada masalah?”
“Tidak kak”
“Bagaimana hari ini? Apa lebih baik dari hari kemarin?”
“Insyaallah kak….”
“Adik aneh sekarang?”
“Kak….”
Ia langsung memelukku. Aku kaget. Memecahkan bendung isak yang ia tahan selama ini. Kutanya ada apa dengannya tapi ia hanya ingin menangis di pelukanku. Aku biarkan! Ku bacakan “Fainnama’al usri yusro”. “Sungguh setelah kesulitan akan ada kemudahan” ia semakin terisak. Pelukannya semakin erat. Ku tatap relung matanya. Kurasakan batinnya yang terluka. Aku ikut haru!
Hari berjalan tanpa terasa. Menyapaku. Kini kumaknai setiap derap perjalanan hidup dengan adik dan ayahku. Perjalanan dengan liku suka dan duka. Perjalanan hidup! Harus bersyukur! Karena di sana letak nikmat-Nya!
Dalam tatap langit aku dan adik bersandar di alun-alun serambi depan dekat kamarku. Memandang ke atas hamparan luas kuasa-Nya ketika akan pejamkan mata sudah kebiasaan.
“Kak…. Apa kakak pernah merasakan seperti apa yang kurasakan saat ini?”
“Pernah, mengapa?”
“Aku takut salah melangkah kak”
“Maksudmu adikku?”
“Ya, salah melangkah bisa-bisa aku dibenci Allah karena aku lebih sering mengingatnya daripada Allah”
“Parah tuh….”
“Kok parah kak?”
“Ya, meski itu kewajaran yang adik rasakan tapi ketika kita mencintai seseorang jangan melebihi cinta kita pada Ilahi okay?”
“Ok. Tapi caranya kak?”
“Cintai ia dalam kecintaan yang membara pada Sang Pemilik Cinta, buatlah ia jadi motivasimu, cinta pada Allah harus nomor satu!”
“Aku malu jujur pada Allah kak kalau aku menaruh rasa padanya! Meski sebenarnya Allah mengetahui semua, ya kan?”
“Mengapa?”
“Tidak tahu, aku malu saja kak”
“Itu wajar adikku sayang! Cintai ia dalam diammu ya…! Pelihara dan jangan sekali-kali nodai ia”
“Ya kak, aku juga yakin kok wanita yang toyyibaat itu untuk lelaki yang toyyibuun seperti yang disebutkan dalam surat An-Nur… Aku wanita yang toyyibaat bukan sih kak?”
“Huss… Adik kok mikir jauh kesana? Insyaallah toyyibaat!”
“Yoh kenapa kak?”
“Boleh sih boleh tapi jangan melewati batas ya!”
“Ya kak perjalanan kita kan masih panjang, ya kan?”
“Ya, oleh karena itu kita harus terus berjuang karena hidup adalah perjuangan! Kita harus banggakan ayah. Belajar yang rajin ya dik manis…! Usahakan maksimal! Ayo kita ke kamar, kita rebahkan badan dan menutup malam ini dengan doa!”
“Ya kak, sebentar dulu!”
“Ada apa adikku?”
“Lihat bintang-bintang di sana indah dengan kerlap-kerlipnya kak apalagi didekatnya ada bulan juga”
“Ya dik, ayo kita masuk kakakmu ini ngantuk”
“Kakak jawab dulu pertanyaanku baru kita masuk!”
“Apa?”
“Kakak maunya jadi bintang atau bulan?”
“Jadi bintang”
“Kenapa?”
“Karena kalau bintang memancarkan cahayanya sendiri kalau bulan tidak bisa memancarkan cahaya tapi ia dapat cahaya dari bintang makanya terlihat bercahaya”
“Gitu ya kak, kalau gitu sekarang aku jadi bintang kecilnya kakak ya?”
“Ya dik manis…!”
“Malam lalu aku dibisiki oleh suara agar aku jadi bintang yang tulus? Tulus itu apa sih kak?”
“Ridho atas setiap ketetapan Allah”
“Ya, aku ingin seperti bintang yang tulus memancarkan cahayanya untuk bulan dan hiasan malam”
Malam larut dalam keheningan bertasbih pada-Nya. Setangkai pagi merekah melepas petang. Kusambut dengan riang. Dengan kicauan merdu burung-burung yang ikut menyambut pagi. Ketika menyiapkan sarapan. Tiba-tiba suara memanggilku.
“Ya ayah?,” jawabku cepat.
“Adikmu ini kenapa?,” teriak ayah.
“Ada apa dengan adikku? Tadi malam ia baik-baik saja, mengapa ayah teriak?,” penasaran dalam hati.
Aku tak mampu menjawab pertanyaan ayah, aku berlari menuju kamar adikku, kulihat adik dengan senyuman termanis yang sering ia sunggingkan. Sementara bulir-bulir bening telah menganak sungai di pipi ayah. Ada apa? Aku tak mengerti. Mulutku seolah-olah terkunci rapat, tubuhku gemetar. Seketika itu kupeluk tubuhnya yang terbujur kaku. “Innalillahi wainnaa ilaihirooji’uun….
Haru memenuhi rongga dadaku. Tak ada sebab! Tak ada sebab ia meninggalkanku dan ayahku! Berkabut dalam sunyi, airmata tumpah segala kegundahan. Mataku sembab dan bengkak. Tercipta sungai di lembah hatiku. Bermuara segala duka. Angin menerobos masuk ke dalam sanubariku mencoba tuk membelai jiwaku yang pedih. Begitu pedih.
Teringat terakhir bersamanya, ceria di wajahnya menyapa pikiranku.
“Kakak maunya jadi bintang atau bulan?”
“Jadi bintang”
“Kenapa?”
“Karena kalau bintang memancarkan cahayanya sendiri kalau bulan tidak bisa memancarkan cahaya tapi ia dapat cahaya dari bintang makanya terlihat bercahaya”
“Gitu ya kak, kalau gitu sekarang aku jadi bintang kecilnya kakak ya?”
“Ya dik manis…!”
“Malam lalu aku dibisiki oleh suara agar aku jadi bintang yang tulus? Tulus itu apa sih kak?”
“Ridho atas setiap ketetapan Allah”
“Ya, aku ingin seperti bintang yang tulus memancarkan cahayanya untuk bulan dan hiasan malam”
Dengan tabah kubuka buku harian adikku kalimat demi kalimat curahan hatinya membuatku haru, isakku semakin menjadi. Seketika itupun bulir bening menetes membasahi lembaran coretan adikku. Tak mampu kutahan lagi.
“Hari yang indah kulewati dengan kakak dan ayah tercintaku. Semangatnya yang membara mendidikku, mengajariku hidup! Takkan kubiarkan mereka terluka karenaku. Ayah…. Aku bahagia berada di dekat ayah! Rumah adalah syurga bagiku. Benar-benar kurasakan bahwa aku mencintaimu. Sangat ayah! Aku mendapat ketentraman dan kenyamanan yang menghiasi hidup ini yang tak mampuku bahasakan. Aura jiwa semangatmu seperti mawar selalu merekah menebar harum di sekelilingnya. Terima kasih ayah….
Kakak…. Aku mencintaimu seperti bintang yang selalu menemani malam. Aku bahagia melangkah di sampingmu!
Raga kurasakan semakin rapuh. Tak tahan...! “ Tapi.... Harus tegar!,”  batinku. Kulanjutkan. Berusaha tenang dengan air mata yang semakin deras.
Kak…. Aku rindu belajar bersama denganmu. Rindu mengukir puisi malam bersamamu. Kini.... Kakak lebih sibuk dengan tugas sekolah! Aku cemburu! Aku cemburu dengan buku-buku yang selalu bersama kakak! Aku berusaha tuk mengerti kalau kakak sebentar lagi ujian nasional kan? Tapi keegoanku ternyata tak bisa aku bendung…  Di malam ini, aku sendiri di luar, aku mengintip di sela-sela pintu, kakak sudah istirahat. Aku ingin bersama kakak! Ingin genggam erat tanganmu sampai kita terhanyut dalam cinta pada  Sang Maha Pemilik Cinta!”
Angin berhembus lembut membelai wajahku dengan mata yang sembab, malam beranjak larut, kupasrahkan semua dalam munajat pada-Nya.
Harusku tulus! Seperti katamu dik! Aku kini mengerti. Selamat jalan adikku sayang…. Selamat jalan Bintang kecilku…!

“Karena cinta kau bersinar selalu dalam hatiku!”

Share this article :
 
Support : Perangkat Kurikulum 2013 | Materi PKn SMA-MA | Tips Blogger-Herbal-Gadget
Copyright © 2011. www.man1praya.com - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger